Refleksi Sumpah Pemuda : Merajut Sebuah Harapan


Bagi sebagian orang, peristiwa yang menandai kelahiran mungkin akan dirayakan dengan suka cita. Sumpah Pemuda, satu dari sejumlah peristiwa kelahiran Bangsa Indonesia, sepertinya semakin layu dan keriput. Sebelas windu yang lalu, bayi montok ini sungguh fenomenal. Ibu pertiwi masih di bawah tekanan kaum penjajah. Begitu juga dengan bapak bangsanya.

Pemuda di seantero jagad raya ini memiliki dinamika yang khas. Kadar spiritualitasnya murni dan memancarkan energi pencerahan luar biasa. Ketika kebanyakan orang asyik dengan diri sendiri, mereka tampil di barisan terdepan dalam kesatuan aksi pembaruan yang cenderung radikal. Itulah yang terjadi saat Pemuda Indonesia bersumpah untuk (selamanya) satu bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia.

Dalam konteks kekinian, ketika revolusi teknologi informasi telah melintas batas teritorial yang secara tradisional dinyatakan sebagai milik suatu bangsa dan kebanyakan warganya asyik dengan (kepentingan) diri sendiri (dan kroninya), ada satu pertanyaan yang perlu dimajukan. Masih relevankah memegang teguh Sumpah Pemuda sebagai titik tumpu pencerahan dan pembaruan sikap hidup bersatu dalam bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia ?

Sumpah yang bobotnya lebih besar dari janji adalah pernyataan kesanggupan berbuat ter- benar dan - baik dalam merealisasikan hal-hal yang disanggupi. Kalau janji sama dengan hutang yang harus dilunasi pada waktu dan jumlah yang disepakati, maka sumpah semestinya lebih dari itu. Misalnya, sumpah Presiden dan Wakil Presiden adalah janji-janji kampanye plus kesediaan mundur dari jabatan jika dalam kurun waktu tertentu gagal melakukan perbuatan yang jujur dan adil. Demikian pula dengan sumpah jabatan lainnya.

Sumpah Pemuda tentu saja berbeda dari pada sumpah jabatan, sumpah para Slanker dan sumpah pocong. Janji menyatukan bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia disertai dengan kesediaan mempertahankan keberadaan dan memajukan kehidupan Indonesia dalam segala aspeknya. Karena itu, Sumpah Pemuda yang diikrarkan pertama kali 28 Oktober 1928 perlu dimaknai sebagai kesanggupan pribadi segenap warga negara, anak-anak bangsa dan penduduk Indonesia untuk (selalu) memajukan derajat kehidupan bangsa, mengapresiasi bahasa dan memelihara tanah air Indonesia.

Memajukan derajat kehidupan bangsa dapat dilakukan sesuai dengan kapasitas diri kita masing-masing. Karena setiap orang punya potensi yang dapat dikembangkan untuk mencapai kapasitas optimalnya. Jika setiap anak bangsa memberikan satu langkah ke depan, bisa dibayangkan betapa lapang jalan yang dapat kita lalui bersama untuk mengatasi krisis multisdimensional saat ini.

Mengapresiasi bahasa Indonesia tidak harus diwujudkan dalam bentuk ekstrim semisal menolak pemakaian bahasa asing dan lokal sebagai media komunikasi verbal, bahasa pengantar dan sejenisnya. Juga melakukan parade baca puisi dan berbalas pantun setiap hari. Penting dicatat bahwa memelihara kelenturan sikap dalam ber-Bahasa Indonesia justru akan menjadi faktor pengaya dalam kebhineka tunggal ika-annya. Tentu, perlu ada aturan baku sebagai acuan utama dalam mengupayakan pengayaan itu. Selain menjadi pengatar, Bahasa Indonesia sangat perlu dikembangkan sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

Memelihara tanah air bukan saja secara fisik menjaga keutuhan bumi Nusantara beserta segenap sumber daya yang ada dari gangguan asing. Lebih dari itu, menanamkan kesadaran secara dini bahwa kekayaan alam dan budaya akan terdepresiasi oleh waktu yang terbuang percuma, pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali, tingkat kesadaran sosial yang rendah serta perilaku penguasa yang korup dan sebagainya. Kebanggaan sebagai bangsa merdeka dan berdaulat akan terkikis oleh menguatnya perilaku feodalistik, nepotisme negatif dan demokrasi vandallistik.

Akhirnya, memperingati hari Sumpah Pemuda kali ini adalah momentum yang sangat tepat untuk merefleksikan jati diri dan merajut sebuah harapan bangsa Indonesia merdeka. Mampukah kita mewujudkan kesanggupan diri sebagai bangsa yang satu, dengan bahasa verbal dan ideologis yang satu serta dengan segenap daya memelihara sumber-sumber kehidupan yang ada di bumi pertiwi yang satu ini ? Semua jawaban akan kembali kepada setiap individu yang menyatakan diri sebagai anak-anak bangsa Indonesia. Pemuda adalah refleksi sebuah generasi. Kompasiana.com

Refleksi Sumpah Pemuda : Merajut Sebuah Harapan Refleksi Sumpah Pemuda : Merajut Sebuah Harapan Reviewed by Ozie Segeran on 10.53 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.